Sunday, April 5, 2009

Optimisme Bersyarat

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di London School of Economics, sehari sebelum KTT G20 di London belum lama ini, menyampaikan optimisme soal masa depan Indonesia. Dalam sepuluh tahun berdemokrasi, Indonesia berhasil membuktikan harmoni demokrasi, Islam dan modernitas; menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia; mencapai pertumbuhan ekonomi yang lumayan dan menjadi pemimpin di negara-negara Asia Tenggara.

Wakil Presiden Jusuf Kalla, di blognya di Kompasiana, bahkan lebih optimis lagi. Beliau menyebut Indonesia menjadi negara yang paling lumayan kuat bertahan dari pukulan krisis dunia sekarang ini. Thailand dan Filipina masih labil kondisi politiknya; Jepang menurun drastis ekspor barang mewahnya. Sementara Indonesia masih bisa bertahan karena ekspornya adalah bahan-bahan dasar yang menjadi kebutuhan dunia seperti kopi, minyak sawit, dll.

Ada nada opitimisme. Memang secara nyata Indonesia berubah. Tapi masih jauh dari harapan rakyat banyak. Rakyat masih banyak yang miskin, tidak punya rumah, tidak punya pekerjaan, tidak berpendidikan dan seterusnya. Mestinya, harus diturunkan sedikit klaim-klaim, karena membikin mimpi sangat mudah sementara membuat kenyataan perlu kerja keras.

Dua masalah paling besar sekarang ini masih: korupsi dan kesejahteraan. Demokrasi bisa dianggap cukup dulu lah. Tinggal disederhanakan dan dinaikkan kualitasnya agar tidak berbiaya sangat tinggi dan frekuesi pemilihan umum yang sangat banyak dan melelahkan rakyat.

Presiden yang Indonesia butuhkan sekarang dan dekade ke depan adalah yang bisa paling efektif memberantas korupsi dan paling cepat membangun ekonomi. Ketika anggaran negara tidak digerogoti koruptor dan ekonomi memberi nilai tambah yang terus mengalir, kita bisa membangun manusia dan infrastruktur Indonesia. Kita bisa membangun pendidikan, kesehatan, bandara, jalan raya, rel kereta dan seterusnya.

No comments:

Post a Comment